Sumber: Dokumen Pribadi
Oleh: Misbahul Anwar (Co-Founder Ngacoo.com)
Sesuai dengan adagium masyarakat lembaga pesantren sangat berpengaruh dan membawa keterlibatan masa dalam melahirkan karakter sebagai cara hidup.
Walaupun terdapat pesantren yang beragam warna dikalangan kaum muslim, ia tetap berfungsi sebagai identitas yang penting bagi para muslim (santri) untuk mengontekstualsasikan retorika ketakwaan (melakukan proses pelestarian, pemberdayaan dan penghormatan secara universal).
Juni di hitungan muda 2022, kerap semua media dan para penegak hukum memberitakan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu anak tokoh agama yang kebetulan tokoh tersebut memiliki lembaga pendidikan yang memuat kegiatan formal, nonformal dan informal. Kasus tersebut sempat ter-up pada enam tahun silam, dan membengkak sampai pertengahan tahun 2022. Mas Bechi, sebutan nama pendek yang menjadi tersangka atas kasus pelecehan seksual pada anak didiknya sendiri.
Tertangkapnya Mas Bechi, membludak di laman informasi. Terpampang pula narasi bahwa kasus tersebut sering terjadi di lembaga Pendidikan Pesantren yang mana narasi tersebut berdasarkan data hasil lembaga survei komnas perempuan. Narasi yang demikian tidak bisa ditimpal dengan mudah. Sebab, narasi tersebut berdasarkan data dan fakta yang beredar dilapangan.
Tanpa dengan rasa balela yang berlebihan, adanya laman informasi yang menilai pesantren secara umum pada kasus pelecehan seksual, secara tidak langsung membangun mindset kepada pembaca dan menciptakan jaringan bahwa pesantren semakin tidak aman untuk pendidikan pemuda dan pemudi. Mindset semacam inlah yang kurang dapat diterima oleh kalangan masyarakat santri.
Sejatinya, sebagian besar masyarakat yang di bangun karakternya dengan moral kesantrian, selain nilai tadzim dan hal lain, masyarakat santri mengetahui gerak ketat manajemen pendidikan pesantren dalam kontrol ubudiyah dan keamanan yang melarang keras dan memampang aturan pada perlakuan yang mendekati maksiat.
Maka dari itu, dirasa terlalu berlebihan jika dalam kasus pelecehan seksual, keberadaan tempat (pesantren) yang diperluas pembahasannya, melainkan jika perlu diperluas ialah kesalahannya, perluas dia sebagai manusia yang melanggar aturan berkehidupan, dan menggunakan kesempatan hidup secara tidak terhormat. Jika tetap dengan persepsi; menilai setiap perilaku tergantung pada kesempatan, dan kesempatan di dukung tergantung berdasarkan tempat, maka hanya seorang yang tidak memilki akal sehatlah yang melakukan hal tidak pantas ditempat terpuji. Bukankah hal tersebut kembali kepada kesalahan dirinya sebagai manusia?
Ditelisik kebenarannya, pesantren tempat Mas Bechi bermukim terdapat kegiatan informal yang menjadi salah satu kegiatan ibadah. Satu diantaranya kegiatan Thoriqoh yang menjadi suluk spritual, dan perlu diketahui kegiatan thoriqoh tersebut tidak termasuk thoriqoh mutabaroh yang keberadaannya tidak akui oleh Nahdlatul Ulama.
Perlu di perhatikan dalam khazanah keilmuan pesantren, menjadikan seseorang sebagai guru diperlukan menelisik sanad keilmuannya hingga akar dan asal-usulnya. Mengapa demikian? Karena Gurulah yang akan menjadi patron dan uswah hidup di dunia dan di akhirat. Sehingga perlu memilah dan mengetahui sanad atau aliran keilmuannya dari berbagai aspek.
Banyaknya santri, pengikut bahkan indahnya warna sorban bukan sebagai tolak ukur kebenaran. Tidak semua yang memiliki pengikut pantas dicium tangannya, boleh menghargai pengetahuannya, namun tidak menjunjung kesalahannya.
Berduyun kasus tersebut tak perlu miring pada keberlagsungan kegiatan di pesantren. Karena pesantren tetap pada garis professional yang dinamis dan intens. Menjadi santri tetaplah penting karena keilmuan yang tidak bersanad adalah tataran terendah dari pengetahuan.
Carilah pesantren yang izin legalitas dan sanad keilmuannya jelas, pilihlah pesantren yang afiliasi amaliah; kultural dan tradisi tidak radikal, yang telah bertahan dari pendiri dijaga oleh penerusnya dari masa ke masa dengan konsisten, yang kegiatan formal, non formal dan informalnya sesuai dengan kaidah pendidikan, perhatikan wilayah kenyamanan dan keamanan pesantren, dan perlu pula diperhatikan kurikulum (tipe model salaf/tradisonal dan modern atau terpadu).
Menjadikan pesantren sebagai isu strategis dan mengkampanyekan simbol keteledorannya saja secara umum dengan terus menerus tanpa memuat nilai lain yang lebih positif dan produktif merupakan bentuk dari penindasan.
*Opini di Kolom Esai Merupakan Tanggung Jawab Penulis