Oleh : Tri Sandi Ambarwati, S.H.
(Paralegal Lembaga Bantuan Hukum Rumah Pejuang Keadilan Indonesia)
Media Tempo melalui Laporan Majalah Tempo kali pertama melafalkan bahwa ACT (Aksi Cepat Tanggap) sebagai Lembaga Kemanusiaan dengan nama besar ini melakukan dugaan penyelewengan dana yang muasalnya dihimpun dari masyarakat luas. Laporannya berjudul “Kantong Bocor Dana Umat”. Tempo menyajikan beragam informasi terkait jumlah dana yang dikumpulkan, sistematika pengelolaannya hingga ‘musibah’ kebocoran dana di sana. ACT sendiri merupakan Lembaga Non-Government Organization yang bergerak di bidang sosial dengan tugas utamanya sebagai fasilitator dan eksekutor program kegiatan tanggap darurat, program pemulihan pasca bencana, pemberdayaan dan pengembangan masyarakat, serta program berbasis spiritual seperti Qurban, Zakat dan Wakaf. ACT didirikan sejak tanggal 21 April 2005 dan prakarsai oleh Drs. Ahyudin.
Apabila di lihat dari perspektif hukum pidana, isu dugaan penyelewengan dana yang dihimpun dari masyarakat luas oleh suatu lembaga dapat masuk dalam jenis tindak pidana Penggelapan Pasal 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, lebih tepatnya Tindak Pidana Penggelapan yang dilakukan terhadap barang (berupa dana) disebabkan karena hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Dapat dipahami bahwa sebenarnya kasus ini telah memenuhi unsur subjektif yaitu penggelapan barang berupa dana milik orang lain dengan unsur kesengajaan dan dapat dijerat sesuai Pasal 374 KUHP yang disimpulkan sebagai Tindak Pidana Penggelapan dengan Pemberatan.
Mengamini pendapat dari Yandri Susanto, selaku Ketua Komisi VIII DPRI RI yang menyatakan betapa pentingnya pembahasan susunan regulasi yang jelas mengenai pertanggungjawaban publik terhadap lembaga-lembaga sosial yang menghimpun dana masyarakat, agar perlu memiliki SOP (Standard Operating Procedure) audit dari Kementerian Sosial sehingga meminimalisir adanya kasus serupa dan tidak disalahgunakan. Aturan-aturan yang jelas dengan sanksi pidana dinilai penting untuk menutup peluang terjadinya moral hazard dalam pengumpulan donasi publik.
Tak dapat dipungkiri, bahwasanya lemahnya regulasi mengenai pengumpulan dana umat hanya diatur lewat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Dua regulasi lawas itu hanya mengatur sistem birokrasi perizinan. Menjadi refleksi bersama, bagi Negara Indonesia sebagai pemilik pangsa pasar urusan kedermawanan untuk dapat lebih serius mengatur aturan soal akuntabilitas dan sanksi pidana jika terjadi kecurangan dalam penggunaan dana sumbangan yang dihimpun dari masyarakat agar kedepan dapat dialokasikan tepat sesuai sasaran.
*Kolom Esai Merupakan Tanggung Jawab Penulis