Sumber: Dokumen pribadi
Oleh: Muhammad Fachrul Hudallah (Ketua Biro Penyuluhan dan Penerangan Hukum Permahi DPC Semarang 2020/2022)
Era globaliasi yang kompleks mengenalkan manusia kepada sistem digital yang merambah ke berbagai sisi, terutama marketing. Digital dan marketing merupakan paduan yang sempurna untuk menarik konsumen guna membeli barang dan/atau jasa.
Penawaran yang mulanya konvensional, sekarang mulai menjamah ke modernisasi. Akses media sosial dapat menjangkau dunia nasional maupun internasional. Akibat dari perkembangan globalisasi pada penawaran produk, kini muncul metode hard selling yang biasanya dipakai oleh pelaku usaha, terutama bagian salesman.
Hard selling merupakan metode yang dinilai agresif karena mendesak konsumen untuk segera mengambil atau membeli barang yang ditawarkan oleh pelaku usaha.
Pelaku usaha biasanya mempermainkan kalimat atau sering menggunakan bahasa hiperbola dengan tujuan konsumen tertarik untuk membeli produk. Contoh hard selling adalah khusus hari ini ada diskon (padahal sebetulnya beli besok ada potongan), barang ini baru diambil langsung dari pabrik (padahal barang yang sudah lama tidak laku namun dikeluarkan lagi), barang ini awet dan tahan lama (padahal barang gampang rusak), dan lain-lain.
Pelaku usaha menggunakan metode tersebut dengan tujuan memperoleh hasil yang maksimal dan memperluas pasar. Mereka tidak dapat menolak perkembangan teknologi, apalagi hal yang menguntungkan mereka.
Namun, secara normatif terdapat regulasi yang mengatur, khususnya di UU No. 8 tahun 1999. Jika pelaku usaha menggunakan kalimat yang hiperbola dan tidak sesuai dengan kondisi produk, mereka telah melanggar ketentuan pasal 7 huruf b UU Perlindungan Konsumen.
Metode hard selling yang bersifat langsung agar konsumen terdorong untuk melakukan transaksi merupakan model pengiklanan yang menurut pelaku usaha jitu dalam jangka pendek.
Sejatinya, iklan yang dikeluarkan oleh pelaku usaha tidak boleh ada muatan yang bersifat mengelabuhi atau informasi yang mengecoh karena dapat merugikan konsumen sesuai dengan ketentuan pasal 17 UU No. 8 tahun 1999.
Ketika pelaku usaha mengecoh konsumen atau memiliki tujuan untuk mengelabuhi konsumen dengan penawarannya, mereka harus ganti rugi karena tanggung jawab yang mengikat ke dalam dirinya atas iklan yang diproduksi.
Ancaman yang akan didapat jika pelaku usaha melakukan perbuatan tersebut adalah ancaman pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak dua miliar rupiah sesuai ketentuan pasal 62 ayat (2) UU No. 8 tahun 1999.
Maka dari itu, untuk menjaga keadilan, kebermanfaat, dan keseimbangan di dalam masyarakat, pelaku usaha seharusnya memahami regulasi yang ada dan tidak perlu menggunakan bahasa hiperbola yang berakibat pada kerugian konsumen. Selain itu, konsumen juga sebaiknya memahami konteks dan kebutuhannya serta mencari tau lebih lanjut agar tidak mudah tertipu dengan kalimat yang dapat mengecoh.
*Tulisan di kolom esai merupakan tanggung jawab penulis