21.7 C
New York
Sunday, May 28, 2023

Buy now

spot_img

Gusjigang

Ilustrasi: Pinterest

Oleh: Muhammad Fachrul Hudallah

Mentari terbit dari ufuk timur tanpa adanya undangan di pagi hari. Tampak jelas rupanya,  logo tembakau terpampang jelas di perbatasan Kudus-Demak. Kudus yang terkenal dengan sebutan Kota Kretek, secara administrasi memiliki sembilan kelurahan, sembilan kecamatan, dan seratus dua puluh tiga desa.

Secara sosiologis jelasnya, Kudus memiliki dua bagian, yaitu Kudus kulon dan wetan. Kulon terkenal dengan priayinya, dan wetan yang terkenal dengan santrinya. Perkenalkan, seorang pria yang berwirausaha dari kalangan santri bernama Farid. Dia berkulit sawo matang, tingginya sekitar 170 cm, dan kelihatan masih remaja.

Dia sudah memiliki beberapa outlet yang bernama ‘Paron’. Spesifiknya, dia punya lima belas outlet di Kudus dalam satu tahun. Sayangnya, semenjak dia merintis usaha hingga jaya, shalat, ngaji, atau yang berkaitan dengan ibadah wajib mulai ditinggalkan. Dipikirannya telah tercetak bahwa hidupnya tentang duniawi. Selain itu, dia juga meninggalkan teman-teman yang secara material di bawahnya. Kejam, sungguh. Dia melupakan hanya karena sudah merasa sukses.

Walaupun temannya secara material di bawahnya, dia masih menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Temannya yakin akan jaya kelak jika di mulai dengan usaha dan doa, meski sekarang hanya jualan tomat kecil-kecilan.

Farid setiap harinya membaca Koran di rumah dan menyurvey outletnya satu-persatu. Dia juga seorang bos yang tidak pernah memberikan waktu istirahat kepada karyawannya.

Pernah saat itu ada karyawan yang shift pagi. Setiap jam sembilan pagi, dia menjalankan shalat dhuha. Selain itu juga pada saat adzan dzuhur, dia bergegas menuju ke masjid terdekat. Menurut Farid, ketika outletnya selalu di tinggal, yang terjadi adalah kerugian. Padahal jam sembilan pagi sampai jam satu siang adalah saat laris-larisnya orang membeli es yang bernama ‘Paron’. Farid tau karena mayoritas karyawannya melapor.

Tanpa fikir panjang, Farid mengundang karyawannya tadi ke rumah selesai bekerja.

Terdengar suara motor matic dari luar pintu yang berhenti. Farid masih saja duduk di dalam rumah sambil membaca koran. Ketukan sebanyak tiga kali dan salam terdengar dari luar pintu. Farid membukanya. Kini, wajah Farid memerah geram walau belum ada obrolan apa-apa.

Melihat wajah karyawannya saja, Farid sudah malas, apalagi sampai bicara dengannya. Farid dengan nada agak cuek mempersilahkan karyawannya masuk dan duduk di shofa untuk mengobrol dengannya.

Televisi dimatikan, terlihat cara jalan dan tata karma karyawannya yang halus menuju tempat duduk yang selembut sutra. Tidak usah banyak basa-basi, Farid langsung menyampaikan tujuannya ingin bertemu dengan karyawannya.

“Mas, kenapa outlet sering ditinggal di waktu rame-ramenya?”

“Mohon maaf, mas. Saya hanya menunaikan kewajiban saya sebagai muslim.”

“Kalau bicara muslim, saya juga muslim. Waktu kan panjang. Apalagi kalau shalat dzuhur. Kan bisa jam dua atau setengah tiga siang sebelum ashar,” bantah bos Paron.

“Saya hanya menunaikan shalat tepat waktu, bapak.” Karyawannya masih memegang teguh pendiriannya.

“Halah alibi aja. Yaudah, mas. Ini saya kasih pesangon. Maaf ya, mas. Anda harus saya pecat karena alasan yang tidak masuk akal bagi saya.”

Prosesi pemecatan itu berlangsung. Televisi, shofa, dan karpet lantai menjadi saksinya. Wajah karyawan sama sekali tidak bersedih. Kekecewaan juga tidak tampak dari wajahnya. Farid masih saja kepalanya panas berapi-api dan membiarkan karyawannya pulang. Pikiran Farid hanya tentang uang dan uang.

Tidak lama beberapa hari setelah memecat karyawannya yang taat shalat, Farid menemukan karyawan  pengganti. Malahan, tiba-tiba outlet menjadi sepi. Farid putar kepala sampai tidak tau mau lari kemana. Karyawannya masih banyak yang harus di gaji. Pemasukan tidak seperti biasanya.

Di titik terendah saat satu hari sebelum menggaji karyawannya, Farid coba memberanikan diri minta saran ke temannya yang mungkin sudah dilupakannya dulu. Jelasnya, dia bernama Guntur.

Farid mengendarai motor kopling andalannya. Dia menyetandardkan montornya di depan rumah Guntur. Raut wajahnya tampak gugup. Sesampainya di rumah teman lamanya, dia langsung mengetuk pintu dan mengucapkan salam dengan gagap.

Guntur menjawab salam Farid dengan mimik bahagia karena merasa bahwa temannya masih belum melupakannya. Farid dipersilahkan duduk di atas tikar karena Guntur tidak memiliki shofa di dalam rumahnya.

“Maaf ya, Rid. Gubukku kecil. Silahkan duduk,” ucap Guntur dengan senyum.

“Oh santai aja, Tur. Bagus kok. Oke-oke aku duduk.”

Guntur kebelakang membuatkan kopi untuk teman lamanya. Farid berkeringat malu karena sudah melupakan teman lamanya dulu hanya karena merasa di bawahnya. Dia merasa bersalah.

Guntur keluar membawa gelas kecil berisi kopi hitam pekat. Gelas disodorkan ke Farid untuk diminum. Tidak panjang lebar, Guntur langsung menanyakan tujuan kedatangan Farid.

“Tumben kamu kesini, Rid. Ada apa memang?”

“Jadi gini, Tur. Outletku sepi akhir-akhir ini dan aku harus gaji karyawanku. Tapi, aku saat ini lagi gak punya uang. Barusan kemarin baru bayar cicilan rumah dan mobilku. Kamu bisa bantu?” Farid dengan muka memelas memohon pada Guntur agar mau membantunya.

“Oh boleh-boleh, Tur. Kamu butuh uang berapa?” tanya Guntur.

“Ini hanya kurang satu juta kok, Tur.”

“Oke bentar tak ambilin.”

Guntur kembali ke belakang rumah untuk mengambil uang agar dapat dipinjamkan ke temannya. Dia tidak sebal atau masang mimik malas meminjami. Masih saja, tampak aura yang cerah dan kebahagiaan terpancar dari wajah Guntur.

Keluar dari ruangan belakang, uang langsung diberikan kepada Farid. Dia bilang bahwa uangnya tidak perlu dikembalikan secepatnya, tetapi sesela dan sepunyanya. Guntur tidak memaksa Farid untuk segera membayar.

Farid merasa gak enak atas bantuannya dan langsung bertanya pada temannya.

“Kamu kenapa baik sama aku, Tur? Lalu kenapa raut mukamu selalu bahagia?”

“Gini, Rid. Kamu tau Gusjigang nggak? Kearifan lokal Kudus yang sekarang juga dijadikan sebagai pijakan masyarakat Kudus? Nah tak kasih tau ya resepku bahagia. Hanya kamu nih yang tak bocorin. Hehehe. Konsep Gusjigang aku jadikan pedoman setiap hari. Gusjigang yang merupakan singkatan dari bagus (berkelakuan baik), ngaji (belajar, menuntut ilmu, memahami), dan dagang (usaha atau berwirausaha). Walaupun aku sekarang hanya menjual tomat kecil-kecilan di pasar, insyaAllah tak imbangi sama ngaji dan ibadah selalu tepat waktu. Oh iya, aku juga menahan ego dan amarahku setiap waktu. Konsep itu yang tak pegang sampai sekarang.”

“Kira-kira bagaimana kalau  sekarang aku pengen kayak Gusjigang-Gusjigang gitu?”

“Kamu kan udah punya usaha. Nah kamu juga udah ngaji sama bagusnya belum? Coba kamu muhasabah. Apa yang perlu diperbaiki dari kehidupanmu sendiri.”

Farid merenung tanpa berkata apa-apa. Pikirannya terbayang pada karyawan yang telah dipecatnya dulu tanpa merasa bersalah.

“Apa karena sikapku dulu pada karyawanku yang buat usahaku malah sepi gini ya? eh apa juga karena aku udah jarang ibadah lagi,” Farid bertanya pada dirinya.

“Tur-Tur. Aku minta maaf kalau banyak salah sama kamu ya. banyak yang perlu ku perbaiki ternyata. Selama ini dirku terlalu angkuh sama semua orang. Aku akan berubah jadi lebih baik.” Tiba-tiba Farid meminta maaf tanpa ada angin dan hujan.

“Semangat untuk berubah menjadi lebih baik, Rid. Kamu kan orang Kudus kulon ya. Kamu jadikan Gusjigang sebagai pijakan. Sekarang malah juga dijadikan slogan kota Kudus lo. Banyak yang udah kenal kata Gusjigang. Sukses selalu untuk menjadi lebih baik dan jangan puas pada hasil. Manusia yang berfikir akan berubah karena akalnya. Oh ya kalau usaha sih pesanku jangan lupakan ibadah. Untuk apa sih terlalu fokus pada dunia? Antara duniawi dan ukhrowi harus seimbang.” Pesan Guntur pada Farid.

Farid mengiyakan pesan-pesan dari teman lamanya, Guntur. Walaupun Guntur tak sesukses dia, tetapi masih memiliki rasa simpati yang patut di kagumi. Farid mulai tersadarkan bahwa dia terlalu memikirkan dunianya sendiri tanpa akhiratnya. Dia terlalu bodoh jika meninggalkan teman sebaik Guntur.

Farid pamit undur diri dan kemudian pulang. Sepulang dari rumah Guntur, dia mencoba untuk menanamkan ke-Islaman dalam dirinya. Selain itu, konsep Gusjigang juga ditanamkannya. Sekarang dia belajar meredam amarah dan egonya. Dia ingin nurut yang dikatakan Guntur. Farid tersadar bahwa bagus, ngaji, dan dagang bukan hanya kearifan lokal dan slogan, tetapi juga pijakan awal jika orang ingin sukses dan bersosial. Sungguh, Gusjigang ternyata punya filosofis yang sangat dalam.

Kudus, 29 September 2020

Muhammad Fachrul Hudallah

Previous articleGadis Selonjoran yang Dihakimi
Next articleNgacoo.com

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,785FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles