Sumber: Dokumen Pribadi
Oleh: Ulfaturrohmah (Mahasiswi Universitas Wahid Hasyim Semarang)
Hampir setiap tahun, Kampus Universitas Wahid Hasyim Semarang (Unwahas) selalu mengadakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Banyak yang mengikuti KKN tersebut kurang lebih mencapai angka ribuan mahasiswa. Dengan banyaknya mahasiswa yang ikut, hal tersebut dapat mempengaruhi banyaknya uang yang terkumpul di kampus, juga akan berpengaruh kepada kebijakan-kebijakan yang nantinya akan diambil oleh pihak yang bersangkutan.
Tidak bisa dipungkiri, hal yang menyangkut masalah keuangan, misalnya. Itu memang sangat sensitif untuk dibahas dan harus diusut sampai tuntas. Terlebih untuk hal yang sudah menyangkut hajat mahasiswa, dimana transparansi banyak hal sangat dibutuhkan agar tidak menimbulkan prasangka yang tidak diinginkan. Seperti halnya pada KKN (Kuliah Kerja Nyata) ke-28 Unwahas ini banyak prasangka yang cenderung liar karena banyak hal seperti sengaja disembunyikan. Ada beberapa hal yang menjadikan prasangka peserta KKN ke-28, serta pertanyaan dan masukan untuk para pemangku kebijakan yang ada di Kampus. Pemilihan Koordinator Umum KKN ke-28 secara diam-diam.
Pada tahap Pemilihan Koordinator Umum KKN ke-28 yang cenderung diam-diam ini, tidak seorang pun yang mengetahui bahkan tidak ada yang dilibatkan dalam perwakilan kelompok tersebut. Hal tersebut membuat banyak prasangka. Setiap ketua kelompok KKN tidak dilibatkan untuk memilih koordinatornya sendiri. Dengan demikian itu merupakan tindakan yang cukup disayangkan dan menyalahi aturan dalam setiap musyawarah. Mengingat yang akan melaksanakan kegiatan KKN tersebuat adalah anggota dari masing-masing kelompok tersebut.
Maka dari itu, selayaknya pemilihan Koordinator Umum KKN ke-28 beserta perangkatnya adalah hak suara dari setiap peserta KKN yang diwakili oleh ketua setiap kelompok KKN. Dengan demikian, perlunya untuk pemilihan ulang Koordinator Umum KKN ke-28 beserta perangkatnya agar tidak terciptanya kesalah pahaman dan untuk menghindari ketidak percayaan dari peserta KKN kepada Koordinator Umum seperti saat ini.
Selain itu, transparansi dana yang sulit. Tidak bisa dipungkiri seringkali dari pihak BEM Universitas sekaligus DPM Universitas bertanya mengenai kejelasan dana yang dikeluarkan secara terperinci agar tidak menimbulkan prasangka liar ditengah pelaksanaan KKN ke-28 ini. Akan tetapi, pemangku kebijakan juga masih tetap sama dengan alasan yang juga masih sama perihal keetisan hal itu dibuka. Padahal, itu adalah uang dari peserta KKN ke-28 yang menuntut untuk sama-sama saling tahu mengenai pemakaian uang itu sendiri. Jika hal ini masih sulit untuk dibuka, maka jangan salahkan jika akan selalu muncul pertanyaan-pertanyaan serta prasangka mengenai uang tersebut. Bahkan peserta KKN ke-28 terhadap pemangku kebijakan.
Subsidi silang tidak seimbang. Pada KKN ke-28 tahun ini, ada beberapa pembagian wilayah yang terbagi menjadi tiga tempat, diantaranya adalah di Kecamatan Gunung Pati, Kecamatan Mijen, dan di Kabupaten Demak. Akan tetapi, para peserta KKN di dua kecamatan Gunung Pati dan Kecamatan Mijen hanya mendapat pengembalian dana sebesar Rp 150.000 per-orang. Sedangkan peserta KKN di Kabupaten Demak mendapatkan 1.000.000 per-orang. Itu menunjukkan ketikadilan dari masing-masing mahasiswa.
Meskipun para pemangku kebijakan menyatakan KKN di Demak cukup berat, oleh karena itu mendapatkan porsi lebih banyak dan tercukupi. Hal itu sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan. Apalagi, keadilan menurut kampus dan keadilan bagi para mahasiswa yang beda kelompok.
Ditambah lagi, transparansi dana yang tidak kunjung didapat malah menjadikan prasangka semakin liar di tengah-tengah peserta KKN yang akan terjun di Masyarakat. Seperti, apakah dana yang seharusnya haknya bisa dioptimalkan untuk seluruh kegiatan KKN di Kecamatan Mijen dan Gunung Pati? Apakah nanti pihak Kampus dapat mempertanggung jawabkan jika ada proker yang kekurangan dana? Atau bahkan uang tersebut selebihnya ditarik untuk membantu membiayai kegiatan KKN di Demak? Atau bahkan digunakan untuk pembangunan kampus di gedung atas?
Maka dari itu, layak kita kritisi mengenai persoalan-persoalan yang ada di Kampus terlebihnya mengenai keuangan. Hal ini sangat penting bagi pemangku kebijakan meluruskan prasangka-prasangka yang tidak seharusnya ada di KKN ke-28 ini. Salah satu caranya yaitu, transparansi dana.
Apa yang kami dapat? Jika bercermin pada KKN tahun lalu 2019? Mereka mendapat fasilitas meskipun tidak seberapa seperti halnya jasket, misalnya. Tetapi pada tahun ini, peserta KKN ke-28 sama sekali tidak mendapatkan fasilitas seperti tahun lalu. Bukannya membandingkan, tapi ini kenyataan. Hal ini masih diusut sampai tuntas sebelum ada kejelasan. Sulitnya menemukan jawaban.
BEM Universitas dan DPM Universitas yang sudah membawa suara peserta KKN ke-28 sudah tiga kali menemui pihak pemangku kebijakan. Namun, dua dari tiga kali rencana pertemuan tersebut, dari pihak LP2M mengkonfirmasi tidak dapat ditemui. Sedangkan peserta KKN ke-28 sampai menghitung secara kasar kemana uang itu akan dipakai. Rupanya, dari prasangka perhitungan kasar tersebut banyak sekali uang yang tersisa seharusnya, dan tidak tahu itu dibawa kemana. Ketidakjelasan dan ketidakmauan pihak pemangku kebijakan untuk melakukan tranparansi dana, sekaligus meluruskan praduga menjadikan peserta KKN ke-28 semakin yakin, bahwa ada yang sedang tidak baik-baik saja dengan KKN ke-28 di Universitas Wahid Hasyim Semarang (Unwahas) ini. Wallahu alam bi al-shawaab.
*Opini di kolom Esai merupakan tanggung jawab penulis